THE LOSS OF SENSITIVITY

H.IrmaJaya
OPINI
*Breathing into the stagnant waters* – kira kira istilah itu yang mendekati keadaan warga Desa Rantau Panjang, Kecamatan Tanah Grogot yang masih terjebak genangan banjir.
Kuat nya signal massage dari Sekda Kabupaten Paser belum bisaa menggerakkan uluran tangan kemanusiaan dari OPD yang ada.
Roslan Kepala BPBD Paser yang telah menerjunkan tim ke lokasi telah bisa menghimpun informasi keadaan sesungguhnya yang terjadi di titik bencana.
Quick Report Roslan ke Sekda di respon hangat oleh pejabat struktural tertinggi di Pemda Paser .
Namun sambung kata , sambung rasa belum bisa terwujud.
“Stakeholder yang terintegrasi dalam tim gerak cepat bencana, belum ngeh akan respon dan aksi yang seharusnya mereka wujudkan pada titik bencana .
Apakah aba aba komando dari eselon tertinggi tadi belum cukup “memekakkan pendengaran” mereka hingga perintah tanggap darurat belum dapat terlaksana.
Tragis, miris dan menyedihkan karena ternyata OPD hanya beken dan keren di tampilan gedung megah , namun miskin sensitivitas.
“Bencana genangan belum juga menyurut”, itulah lirih Imam Ketua BPD setempat.
Menjawab Kandilocom terhambat nya mengalirnya genangan karena pintu air di alur irigasi utama macet kurang berfungsi maksimal. Begitu berat dan sulit kah mengatasi hal itu ?
Bekum tergerak kah Dinas teknis untuk segera mengatasinya ?
Apakah harus menunggu usulan duit nya ?
Pas sekali bila kita “galau” karena sudah sebulan lebih warga disana tidak bisa meng handle giat tanam menanam dan persediaan bahan pokok merekapun sudah menipis.
“Ya sudah mulai menipis persediaan bahan pangan kami”, begitu lagi lagi lirih sang Ketua BPD.
Beruntung lah Pemkab ; dengan seabrek kendala kendala sebagai konsekwensi logis pada titik bencana , kepala kepala keluarga di situ tidak mau berpangku tangan – pasrah dengan keadaan.
Mereka yang sehari harinya terbiasa mengolah tanah fokus pada tanaman jenis sayur sayuran memutuskan untuk bergerak keluar kampung idamannya untuk mendapatkan imbalan upah.
“Kepala keluarga sudah banyak yang keluar, serabutan demi mendapat upah kerja, untuk bertahan hidup”, Imam bersuara datar ❓ kepada media kandilocom.
What’s wrong with that condition ?
Saling menjaga dan saling waspada ; itu lah jawaban yang mengena.
apakah kepala desa salah, karena tidak segera sedari awal lapor akan bencana tadi dan atau BPBD setelah ” meal” kepada Sekda tidak segera gelar koordinasi? ataukah OPD OPD terintergrasi dalam satuan gerak cepat penanggulangan bencana, yang hanya membangun komunikasi verbal, tanpa memperdulikan fakta fakta kejadian di lapangan.
Lalu haruskan begitu; kita jawab dengan lantang tidak, tidak demikian, semuanya tidak benar.
Yang benar adalah mulai melunturnya sensitivitas kita. Tidak perlu saling tunjuk, saling tuding dan saling menyalahkan.
Saling dan tunjuk tadi hanya membuang waktu serta menguras energy.
Sejatinya telah melunturnya sensitivitas (kepekaan) kita akibat dari rutinitas keseharian , dihadapkan pada tugas maupun tanggungjawab, pada lingkup personil ( rumah tangga) , lingkup pekerjaan. Tuntutan ber lapis lapis , bertumpuk dimana pada ujung ujungnya tertinggal lah yang namanya social responsibility – dimana sensitivitas tadi menyatu disitu.
Lalu bagaimana , pasca terlelap dengan ritme rutinitas dan interval libur panjang, sudahkah terketuk dan terbangun “mahluk bernama sensitivitas tadi” ?
Pastinya dengan “pekaknya sirene panjang melalui media kandilocom” ter sadar kita akan panggilan kemanusiaan dan jiwa gotong royong yang sejak semula menjadi semangat keseharian kita, dengan Jargon berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Betapa indah hidup di alam demokrasi yang ber Pancasila , menuju Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya Untuk Indonesia Raya; itulah bait Lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang menghujam dalam relung terdalam hati kita Bangsa Indonesia. (IrmaJaya).
kandilocom; Flow Continuity with Smart System.
Read More :