UPACARA BELA NEGARA BAWA MISI HEROISME ; DISESALKAN BUPATI FAHMI ABSEN.
Kandilo.com ; IrmaJaya


Gambar ; Barisan Bela Negara Kabupaten Paser Kalimantan Timur ( Doc. Panitia)
Membawa Misi Heroisme;
Urgensi Hari Bela Negara: wajiblah dengan cermat kita mengenang kembali Keteladanan Syafruddin Prawiranegara dan Amanat Konstitusi.
Hari Bela Negara bukan sekadar peringatan simbolik, melainkan pengejawantahan langsung dari amanat konstitusi. Negara ini berdiri di atas kesadaran bahwa kemerdekaan harus dipertahankan oleh seluruh warga negara, terutama mereka yang diberi mandat kekuasaan.
UUD 1945 Pasal 27 ayat (3) menegaskan:“Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”Sementara Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 menyatakan:“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”Artinya, bela negara adalah kewajiban konstitusional, bukan pilihan.
Sejarah bangsa memberi teladan kuat melalui Syafruddin Prawiranegara. Saat Soekarno dan Mohammad Hatta ditahan Belanda pada Agresi Militer II tahun 1948, Syafruddin menginisiasi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Ia bertindak ketika negara nyaris kehilangan pimpinan , demi memastikan republik tetap hidup. Inilah praktik bela negara yang sejati: hadir, berani, dan bertanggung jawab.
Nilai historis dan konstitusional tersebut terasa kontras dalam peristiwa peringatan Hari Bela Negara di Kabupaten Paser. Fahmi Fadly, Bupati Paser, Kalimantan Timur, tercatat absen dalam gelar upacara yang dilaksanakan di halaman Kantor Bupati, padahal Inspektur Upacara membacakan amanat tertulis Presiden RI Prabowo Subianto yang sarat pesan kebangsaan dan tanggung jawab kepemimpinan.
Ketidakhadiran kepala daerah dalam momentum kebangsaan ini patut menjadi perhatian publik. Sebab, kepala daerah bukan sekadar pejabat administratif, melainkan pelaksana konstitusi di daerah dan simbol kehadiran negara bagi rakyatnya.
Terlebih, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah menginstruksikan agar seluruh bupati dan wali kota wajib menjaga daerahnya hingga 15 Januari 2026. Instruksi ini sejatinya merupakan turunan langsung dari kewajiban bela negara sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Sekaligus peringatan serius dari Mendagri mengacu pada sanksi yang telah di “palu” Mendagri kepada Bupati Provinsi Aceh Tengah.
Jika pada masa perang seorang Syafruddin Prawiranegara berani mengambil tanggung jawab besar di bawah ancaman penahanan dan kematian, maka pada masa damai, absennya pemimpin daerah dalam Hari Bela Negara menjadi ironi konstitusional. Bela negara hari ini tidak lagi di medan tempur, tetapi diwujudkan melalui kehadiran, keteladanan, dan komitmen nyata pada nilai kebangsaan.
Hari Bela Negara semestinya menjadi cermin evaluasi kepemimpinan, bukan sekadar seremonial. Sebab, sejarah dan konstitusi telah memberi pelajaran yang sama: republik ini bertahan karena pemimpinnya memilih hadir dan bertindak, bukan absen dari tanggung jawab.
