HUEGENG ; JENDERAL POLISI NURANINYA YANG TAK PERNAH LEKANG.

By adm1 on 06 Jul 2025, 11:09 AM

Meri Hoegeng : Istri Sang Jenderal Polisi Tauladan.

Disadur dari buku: Dunia Huegeng 100 tahun Ketauladanan oleh Dr Harris Turino : Dosen PTIK.

Di upload melalui WhatsApp oleh ; Fitriansyah Djohan : Alumni AMKT – Asrama Mahasiswa Kalimantan Timur; Jalan Mawar 19 Surabaya.

TAULADAN :

Berkelindan pada bingkai logical frame work pembuat narasi ; tenggelam dalam haru biru bercampur bangga karena berkesempatan mengayuh jauh ke hulu ihwal fragmentasi romantika kehidupan rumah tangga Kapolri dimasanya yaitu Jenderal Huegeng.

Berbagai konsilidasi terungkap diungkapkan oleh siapapun yang mencintai dan mendambakan ketauladanan laksana beliau di rumah besar Bhayangkara.

Salah satu reward prestisius yang bisa di dapatkan oleh garda terdepan anggota Kepolisian RI sudah siap untuk di raih ; namun tentu capaian yang tidak mudah , karena kriteria dan persyaratan ketat akan hal tersebut, reward tadi dinamakan “Huegeng Award”.

Media Kandilocom me publish sebagai hadiah dan apresiasi kepada Polisi Republik Indonesia se Nusantara.

*Bhayangkara adalah Polisi*,

Polisi adalah Hoegeng*,Huegeng adalah Integritas*

Bertemu di Antara Batu dan Kenangan

Suatu hari di era 1960-an, seorang pria Belanda datang mengetuk pintu rumah keluarga Hoegeng di Jalan Prof. Mohammad Yamin. Namanya Michael, sahabat lama dari masa lalu. Ia baru tiba dari Eropa dan bercerita bahwa di Belanda telah terbentuk komunitas warga Indo, keturunan campuran Indonesia-Eropa, yang saling terhubung kembali setelah puluhan tahun tercerai-berai.

Michael menyebut satu nama yaitu Paul Cortenbach, yang menggetarkan hati Bu Meri, istri Pak Hoegeng. Sebuah foto pun dikeluarkan, dan seketika wajah Bu Meri berubah. Lelaki dalam gambar itu tak lain adalah ayah kandungnya yang telah terpisah sejak invasi Jepang ke Indonesia tahun 1942.

Sejak pertemuan itu, hubungan antara Bu Meri dan sang ayah mulai dirajut kembali. Surat menyurat menjadi jembatan rindu. Mereka saling bertukar foto, bahkan merekam suara lewat kaset yang dikirim lintas benua. Maklum jaman itu belum ada HP yang bisa untuk video call seperti saat ini.

Dalam satu suratnya, sang ayah mengajak Bu Meri datang ke Belanda.Tapi Bu Meri hanya bisa menghela napas. Biaya menjadi kendala. Namun cinta orang tua tak pernah tandus, ayah dan saudara-saudara tirinya di Belanda bahu-membahu membelikan tiket Jakarta-Amsterdam.Dengan hati riang, Bu Meri meminta izin kepada suaminya.

Tapi jawaban Pak Hoegeng membuat langit harapannya mendung.“Kamu tetap tidak boleh pergi,” kata Pak Hoegeng tegas.

“Mas… tiket ini dibelikan ayah saya, bukan uang negara,” jawab Bu Meri perlahan.“Saya ini pejabat negara. Tak semua orang mau tahu siapa yang membiayai. Mereka akan bicara, siapa cukong di belakang Bu Hoegeng? Saya mohon mengerti…”Bu Meri tertunduk.

Ia memilih taat pada suara tanggung jawab suaminya, meski hatinya berat. Ia menulis surat kepada sang ayah, menjelaskan semuanya dengan jujur dan memohon maaf. Tak lama kemudian, datang balasan yang membungkam segalanya. Sebuah amplop dengan tepi hitam, mengabarkan, sang ayah telah tiada.

Pak Hoegeng memeluk istrinya yang menangis. Ia tak menangis, tapi sesal terlihat jelas di matanya. Ia meminta maaf karena keputusan yang ia ambil atas nama kehormatan negara telah merampas kesempatan terakhir Bu Meri untuk menatap ayahnya.

Tahun berganti. Suatu hari, Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang menjabat sebagai Menko Ekuin memanggil Pak Hoegeng. Indonesia akan mengirim delegasi seni ke Belanda, dan dibutuhkan seorang pendamping yang fasih berbahasa Belanda. Pilihannya jatuh pada Bu Meri. Sultan berharap Pak Hoegeng kali ini mengizinkan.

Dan kali ini, sang Bhayangkara pun tak berkata banyak.“Ini tugas negara, Mer. Berangkatlah,” katanya pelan.Maka Desember 1970, setelah menempuh ribuan kilometer dan menembus dingin musim Eropa, Bu Meri berdiri sendiri di hadapan sebuah pusara sunyi di Amsterdam.

Di nisan tua itu terukir nama yang lama hidup dalam bayangan:“Rustplaats van Paul Cortenbach – RIP” ( Rest in Peace).

Tak sempat menggenggam tangannya. Tapi setidaknya, akhirnya ia bisa berdiri di sisinya. Dalam diam, Dalam doa, Dalam damai.

Kisah ini bukan sekadar tentang pertemuan yang tertunda, tapi tentang integritas yang dibayar mahal oleh cinta. Tentang seorang Bhayangkara yang tak hanya setia pada konstitusi, tapi juga pada nurani.

Dan tentang seorang perempuan yang rela menahan rindu dan kehilangan, demi menjaga kehormatan suaminya dan harga diri pengabdiannya.

Hoegeng bukan malaikat; Ia manusia biasa, yang kadang juga bisa lelah, yang ragu, yang menyesal. Tapi justru karena itulah ia layak dikenang.

Sebab di tengah godaan kekuasaan dan jebakan citra, ia tetap memilih jalan yang sunyi yang jarang diambil orang, yaitu kejujuran.

Pertanyaannya sekarang adalah di zaman ini, masihkah ada Bhayangkara yang bersedia memilih sunyi demi integritas? Masih adakah yang bersedia berkata “tidak” demi kebenaran, meski harus membayar dengan luka yang tak terlihat?

Semoga cerita ini tidak hanya dikenang, tapi dijadikan cermin. Agar Polri tak kehilangan ruhnya. Agar jabatan tak membutakan nurani.Agar setiap Bhayangkara tahu bahwa menjadi seperti Hoegeng memang berat, tapi bukan mustahil.

editor ; IrmaJaya

Leave a comment